Kebahagiaan: Antara Jiwa, Raga, dan Ruh*)






Penulis: Haidar Bagir

Bahagia beda dengan senang atau gembira. Orang bisa tidak senang atau sedih tapi hidupnya secara keseluruhan bahagia, dan sebaliknya. Tapi, kalau orang terlalu sering tidak senang atau sedih, kebahagiaan bisa berubah menjadi kesengsaraan. Karena, meski menyangkut keseluruhan hidup, kebahagiaan punya spektrumnya sendiri. Mulai bahagia secara total, sangat bahagia, bahagia, kurang bahagia, tidak bahagia, dan sangat tidak bahagia. Mudah dipahami, bahwa keadaan sangat tidak bahagia
berimpit dengan keadaan (hidup) sengsara.


Apa itu kebahagiaan?

Kesejahteraan (wellbeing), yakni kepuasan atau pemenuhan hal-hal yang dianggap penting dalam hidup (eksternal). Lawannya adalah ketiadaan atau kekurangan(deprivation) hal-hal tersebut.

Kerelaan, yakni terhadap keadaan yang di dalamnya seseorang berada (internal). Lawannya adalah kegelisahan atau kecemasan.(Meskipun demikian, seperti juga dinyatakan Heidegger, karena merupakan suatu modus eksistensial, ia—disebutnya angst—justru bisa menjadi awal kebahagiaan. Tentunya jika disikapi dengan benar. Karena, kegelisahan sesungguhnya adalah bagian—meski mungkin preliminer—dari kesadaran spiritual).

Perasaan mengetahui makna hidup, yang kadang diidentikkan dengan perasaan dekat dengan Tuhan.

Boleh jadi kebahagiaan itu (pada puncaknya) bersifat spiritual, atau intelektual (filosofis), seperti disebutkan oleh berbagai aliran spiritualitas—termasuk yang ada dalam agama—dan filsafat. Tapi kalau orang lebih sering tidak senang dan bersedih, maka segala pembicaraan tentang kebahagiaan spiritual dan filosofis bisa kehilangan maknanya.


Nah, meski kesenangan dan kegembiraan boleh jadi juga merupakan turunan dari kebahagiaan, namun kebahagiaan bisa amat tergantung pada—banyak sedikitnya—instansi (instances) yang di dalamnya orang gembira dan senang atau tidak. Maka, barangkali, persoalan gembira dan senang (yang bersifat temporer) ini tak langsung berhubungan dengan masalah-masalah spiritualistik atau filosofis. Sebaliknya ia erat terkait dengan persoalan-persoalan pikiran yang bersifat rasional-praktis, bahkan fisikal/jasmaniah—baik kesehatan maupun setingkat kemakmuran tertentu.

Sebelum itu, perlu pula diungkapkan bahwa secara spiritual dan filosofis, kebahagiaan dipercayai sebagai terkait erat dengan moral yang baik dan semangat memberi kepada orang lain. Moral yang baik dan semangat memberi—bahkan dalam kerangka pemahaman utilitarian dan pragmatis—akan memantulkan kebahagiaan kepada pelakunya.


Hirarki Kebutuhan

Mengingat kebahagiaan sama dengan kesejahteraan (wellbeing),yakni pemenuhan kebutuhan-kebutuhan, maka kita pun perlu mengetahui kebutuhan-kebutuhan hidup itu. Di bawah ini hirarkinya menurut

Abraham Maslow :
Fisikal : Sandang, pangan, papan, Keamanan
Pertemanan dan sense of belonging dalam sebuah kekelompokan,
Self Esteem alias perasaan dihargai
Self Actualization : kecukupan ruang untuk mengekspresikan
diri, mengekspresikan segala minat dan kemampuan.


Meski, menurut Tony Buzan, self actualization identik dengan spiritual intelligence, saya—setidaknya untuk menegaskan—ingin menambahkan satu tingkat kebutuhan lagi, yakni:

Pertemanan dengan (apa yang dipersepsi) sebagai Tuhan. Inilah yang belakangan disebut sebagai—Spiritual Intelligence (SQ)itu.


Keadaan Mengalir (Flow State)


Menurut penelitian, inilah beberapa keadaan yang menandai
perasaan bahagia, yang satu sama lainnya berkaitan:

Konsentrasi yang lebih dalam. Dengan kata lain, pikiran tidak
terpecah-pecah atau sebuah keadaan holistik.
(Perasan memiliki) kendali penuh atas segala sesuatu.
Momen sekarang sebagai satu-satunya hal yang penting. Mungkin
identik dengan keadaan berikut:
Perubahan sense of time, yang di dalamnya waktu
tertransendensikan dan tak terasakan sebagai kekuatan yang
mengendalikan (dan memotong-motong durasi) kehidupan kita.
Hilangnya ego, yakni menguapnya batasan-batasan individual
yang bersifat mental (pikiran) dan psikologis. Dengan kata lain,
hilangnya gagasan tentang diri kita sebagai sesuatu yang berbeda
dari alam selebihnya. (Dalam mistikisme atau tasawuf, keadaan (hal)
seperti ini—ketika telah mencapai puncaknya—disebut sebagai
ekstase atau wajd)


Flow state inilah yang biasanya "diburu" lewat
berbagai bentuk meditasi, yang dianjurkan dalam berbagai aliran,
kelompok, dan gerakan spiritual.


Yang perlu juga diketahui bahwa keadaan-keadaan yang mencirikan
keadaan bahagia ini, pada saat yang sama, juga diketahui sebagai
keadaan-keadaan yang mencirikan saat-saat lahirnya pikiran-pikiran
kreatif.


Menurut penelitian lain, baik kuno maupun modern, dalam kehidupan
sehari-hari keadaan seperti ini biasa dialami dalam kondisi "melayang,"
antara jaga dan tidur, ketika otak kita menayangkan gelombang Beta.
Para mistikus, konon, bisa mengendalikan jiwa mereka sehingga bisa
meng-induce keadaan ini meski berada dalam keadaan jaga penuh.
Keadaan-keadaan ini juga dapat diciptakan lewat mood inducing
drugs—yang tentu lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.


Kesimpulannya, dalam hubungan dengan ini adalah, orang yang
berbahagia adalah yang cenderung mengalami keadaan flow state
ini, meski tak berarti keadaan itu berada dalam puncaknya, seperti
yang dialami kaum mistikus seperti tersebut di atas.


Kebahagiaan juga Bersifat Jasmaniah

"Men sana in corpore sano"


Peribahasa atau kata bijak yang begitu populer—sehingga
diterjemahkan ke berbagai bahasa ini—dengan baik menggambarkan hal
ini. Meski berhubungan dengan kesehatan pikiran, ia bisa menunjukkan
bahwa kebahagiaan tergantung pada fisik yang sehat (mana mungkin
orang bahagia jika pikirannya tidak sehat?). Saya kira peribahasa
yang sama bisa diperluas maknanya untuk mencakup jiwa atau ruh,
sehingga ia menjadi:
"Jiwa atau ruh yang sehat terletak dalam badan yang
sehat".


Pemisahan atas jiwa dan jasmani kita ketahui bermula dari zaman
Descartes. "Jiwa," kata Gilbert Ryle yang berusaha
meringkaskan pikiran Descartes mengenai masalah ini, "adalah
hantu dalam sebuah mesin". Maka muncullah persoalan filosofis
yang sampai sekarang belum terpecahkan, yang biasa disebut sebagai
mind-body problem. Paham ini menjadi makin "keras" dengan
dominannya paham materialisme.


Sebenarnya, dalam filsafat-filsafat kuno, atau perenialisme modern,
ruh, pikiran dan raga tak pernah dilihat sebagai dua hal yang
terpisah. Istilahnya, yang sekarang kembali lagi populer, holistik
(belakangan, sebagai alternatif terhadap kedokteran modern
yang bersifat mekanistik-ragawi, orang mulai memperkenalkan
kembali istilah kedokteran, atau penyembuhan (healing)
holistik (holistic medicine).


Bisa disebutkan, inter alia, bahwa dalam filsafat Islam
yang belakangan, berkembang sebuah aliran yang disebut sebagai
teosofi trasenden (al-hikmah al-muat’aliyah). Dalam aliran
ini, holisme kembali ditegaskan karena gagasannya tentang sifat
ambigu eksistensi (tasykik) dan gerak substansial (al-harakah
al-jawhariyah). Yakni, bahwa keberadaan manusia senantiasa
berada dalam limbo, berada di antara satu tingkat dan tingkat
lainnya dalam tangga keberadaan, bergerak dari yang sepenuhnya
bersifat fisik dan material hingga ke yang sepenuhnya bersifat
ruhaniah. Dan bahwa sesungguhnya tak ada batas yang memisahkan
keberadaan fisikal dengan yang bersifat mental, psikologis, maupun
ruhaniah (spiritual). Kapan saja, manusia bisa berada secara lebih
fisikal, tapi juga bisa meningkat ke yang lebih spiritual. Dan
sebaliknya.
Dalam filsafat ini, sebagaimana juga dalam ajaran Islam
pada umumnya, orang menjadi lebih spiritual karena amal-amal salih
yang dilakukannya. Dalam konteks pembicaraan kita ini, orang lebih
spiritual—dengan kata lain, lebih bahagia—berkat amal-amal salih
yang mendekatkannya pada khazanah alam spiritual, kepada Tuhan
sebagai puncak spiritualitas.


Kesimpulannya: kebahagiaan pada puncaknya bersifat spiritual dan
filosofis, tapi amat dipengaruhi oleh kepuasan—tepatnya, seperti
akan kita lihat di bawah ini, keseimbangan—jasmaniah atau fisikal


Kebahagiaan dan Hal-Hal Praktis


Baiklah akhirnya saya berikan beberapa ilustrasi tentang
pengaruh kepuasan fisikal dan psikologis-praktis atas kebahagiaan.
Betapapun praktis, kesimpulan-kesimpulan ini diringkaskan dari
berbagai penelitian psikiatris sebagaimana terungkap dalam berbagai
jurnal dan artikel ilmiah mengenai bidang ini:

Satu jam nonton TV akan mengurangi kesenangan sebesar 5%
Rutinitas keluarga memperbaiki kebahagiaan hingga 5%
Mendukung tim olahraga tuan rumah dapat meningkatkan
kebahagiaan hingga 4%
Menjadi sukarelawan menjadikan orang merasa nyaman dengan
dirinya, merasa memiliki tujuan, merasa dihargai, dan kecil
kemungkinan merasa bosan
Olahraga meningkatkan kebahagiaan sebesar 12%. Kegiatan ini
meningkatkan citra diri.
Orang yang mengapresiasi humor sehingga banyak tertawa
sepertiga lebih berbahagia dibanding lainnya.
Makan buah-buahan meningkatkan kebahagiaan hingga 11%
Setiap pengurangan 1 jam dari tidur malam yang cukup—yakni 8
jam sehari—mengurangi perasaan positif hingga 11%
Orang-orang yang selalu menyediakan kertas dan pena untuk
mencatat gagasan-gagasan-terbaiknya terbebas dari kemungkinan
37% kurang puas dibanding orang-orang yang merasa sering
kehilangan gagasan-gagasan karena tak sempat mencatatnya.
Interaksi yang intens dengan komunitas—kelompok teman,
tetangga—meningkatkan kebahagiaan hingga 30%
Musik terbukti meningkatkan perasaan "flow" yang
menjadi sumber kebahagiaan
Orang yang memiliki hobi lebih bahagia 6% ketimbang yang tidak.
Iri hati mengurangi kebahagiaan hingga 26%
Perasaan bahagia dapat dipengaruhi oleh aroma, dan sebaliknya.
Orang-orang yang banyak membaca lebih bahagia karena mereka 8%
lebih ekspresif.


Beberapa ilustrasi lain:

Fisik yang tidak sehat terbukti bisa menimbulkan stress.
Jika peredaran darah dalam tubuh tidak lancar, apalagi orang
menderita darah tinggi, maka pengaruhnya terhadap ketenangan
pikiran menjadi pasti.
Terbukti bahwa penyakit jiwa bisa (baca: perlu) diobati
melalui fisik. Inilah pada dasarnya prinsip yang yang melandasi
psikiatri—yang antara lain, terkenal dengan berbagai sarana
pengobatan untuk mempengaruhi mood (mood inducing drugs).
Berkembangnya, belakangan ini, aroma terapi, dan terapi warna
yang juga bisa mempengaruhi mood.
Peran relaksasi—termasuk meditasi—dalam menimbulkan
ketenangan, yang makin lama makin diakui. Juga, peran relaksasi
sebagai kondisi bagi hadirnya pencerahan.
_____________

*) Yang dibicarakan di sini adalah kebahagiaan di dunia.
Karenanya, persoalan ketuhanan atau spiritualitas dibicarakan hanya
dalam hubungannya dengan kebahagiaan dunia.

Comments

Popular Posts